^_^

Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia, jurusan Pendidikan bahasa dan Sastra Indonesia-A'2009-Universitas Pendidikan Indonesia.

Jumat, 03 Desember 2010

KAJAIN FEMINISME PROSA FIKSI


NOVEL : ^^NYALALAH  API  CINTA ^^

OLEH :
Rebecca Anrini Sianturi                (0906813)
                                        Indah Komalasari                             (0906644)
                                        Intan Nirmala                                    (0902474)
                                        Nurul Haq Andini                             (0903929)
                                        Riama N Sihombing                         (0900806)
                                        Wina Sugiarti                                     (0902362)

SINOPSIS
Lastri adalah seorang gadis elok parasnya dan cantik hatinya,  juga baik dalam beragama.  Lastri tinggal di  Dukuh Tempel yang sedang mengalami kekeringan. Desa yang sangat susah untuk mendapatkan air. Padahal mata pencaharian di desa itu adalah bercocok tanam. Sehingga banyak warga yang pergi dari desa ke kota untuk mencari pekerjaan, salah satunya Suroso lelaki berumur tiga puluh tahunan yang wajahnya jelek sehingga sampai sekarang dia tak laku-laku. Suroso juga sangat mencintai Lastri.
Suroso mendapatkan pekerjaan yang membuat dia mempunyai cukup uang untuk hidup, sebagai penyalur tenaga kerja Indonesia, khusunya wanita (TKW). Karena sudah merasa cukup uang, Suroso kembali ke desanya Dukuh Tempel untuk mengajak wanita-wanita yang ada di desanya, juga kakaknya sendiri yang bernama Tinha dan tetangganya Siti. Suroso juga  datang kerumah Lastri, dengan keadaannya yang sudah kaya ia merasa layak untuk melamar Lastri perempuan berwajah cantik yang dicintainya itu. Lastri menolak lamaran Suroso, sedangkan keluarganya memaksa Lastri untuk menikahi Suroso karena kaya.
Lastri tetap pada pendiriannya, dia tidak mau menikah dengan Suroso, sehingga keluarganya marah padanya dan menjauhinya. Lastri serasa orang asing dirumahnya, tak ada lagi yang mau memperhatikannya. Rasa putus asa pun dirasakan Lastri, ia hanya ingin meyakinkan keluarganya bahwa bekerja sebagai TKW itu tidak semuanya bisa berhasil, banyak TKW yang bernasib sial, ia juga ingin meyakinkan orangtuanya untuk mengutamakan pendidikan. Sehingga dia pergi ke gunung untuk bertemu Kang Guru, untuk meminta nasehat. Kang Guru menyuruh Lastri untuk mengikuti apa kata hatinya. Akhirnya lastri memilih untuk mengikuti kata orang tuanya, ia menerima Suroso.
Mira sahabat Lastri ingin menjadi TKW ke Malaysia, Suroso mengajak Mira ke Kota untuk mengurus keberangkatannya, Karena terayu atas kemolekan tubuh Mira, Suroso tergoda. Sehingga mereka berjinah. Setelah mengurus keberangkatan Mira, Suroso kembali ke Dukuh Tempel diperjalanan dia mengalami kecelakaan tragis dan meninggal.
Tinggal lastri yang diharapkan keluarganya untuk berkerja, keluarganya memaksa Lastri untuk menjadi TKW seperti temannya dan wanita-wanita yang sudah menjadi TKW, tapi Lastri tetap berpendirian kalau dia tidak akan menjadi TKW. Orang tua Lastri marah padanya, setiap hari dia di siksa. Kemiskinan pun datang pada keluarga mereka, sawah dan tanah pun akan di jual orang tua Lastri, Lastri hanya bisa pasrah dan ia pergi ke sawah dan diam disitu tidak tau mau sampai kapan. Ia hanya berdoa dan meminta kejelasan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Lastri merasa kalah pada dirinya, dia tidak berhasil mencegah wanita-wanita di desanya untuk tidak menjadi TKW dan lebih mementingkan pendidikan.


ALUR  DAN  PENGALURAN

¢  Alur
                Pada novel “nyalalah api cinta” ini alurnya alur maju, tidak membingungkan bagi pembaca yang membacanya. Karena cerita yang dikemas dalam novel ini searah. Tidak ada alur yang flash back.
Ø   berawal dari desa Dukuh Tempel yang kekeringan   sehingga memaksa warga untuk mencari pekerjaan ke kota.
Ø  Lastri yang tidak mau menikah dengan Suroso dan dipekerjakan sebagai TKW.
Ø  Lastri yang meminta saran Kang Guru dan menerima lamaran Suroso.
Ø  Kecelakaan tragis yang dialami Suroso dan menyebabkan dia meninggal.
Ø   Lastri yang susah meyakinkan orang tuanya dan wanita-wanita di desanya, bahwa tidak semua TKW itu bernasib bagus.
Ø   Lastri yang disuruh bekerja sama orang tuanya sebagai TKW.
Ø   Orang tua Lastri yang menyiksanya karena tidak mau menjadi TKW.
Ø   Lastri yang pasrah atas hidupnya yang kalah atas keadaannya.



¢  ALUR (N. Friedman)
Ø  Alur peruntungan
Alur pedih
                                Dalam novel ini pelaku utamanya yaitu Lastri berparas sangat cantik, tapi lemah, mendapat musibah berangkai. Tidak pantas mendapat kemalangan karena memang Lastri adalah gadis yang baik. Cerita berakhir dengan kepedihan menimbulkan rasa kasihan pembaca.
    “ Lastri namanya. Ya, Lastri tetangganya di dukuh nan jauh disana. Cantik dia. Semua orang yang tau tentang cantik tidaknya seorang perempuan, semuanya akan sepakat bahwa Lastri adalah cantik. “
     “ dan setiap kali Lastri berkata “tidak”, setiap itu pula gebukan dan tamparan mendarat di wajah dan tubuhnya “

Ø  Alur penokohan
Alur Kedewasaan
                Tokoh utama yaitu Lastri (cantik, cerdas) Tokoh itu menjadi matang, dewasa karena peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Lastri merupakan anak yang rajin beribadah dan menuntut ilmu agama sehingga disetiap ada kejadian ia kaitkan dengan agama.

Alur Pengujian
                Semua inisiatif tokoh utama gagal satu demi satu. Kedua orangtua Lastri membenci lastri karena lastri tetap tidak mau menuruti keinginan orangtuanya agar dijadikan TKW untuk merubah nasib keluarganya. Begitupun warga desa yang selalu menggunjing dan mencaci maki Lasatri karena di tengah kesuliatan perekonomian warga, Lastri selalu meyakinkan warga agar tidak pergi ke luar negeri untuk menjadi TKW.

                “Bara api cinta dan kebencian menyelingkupi kehidupan keluarga Lastri. Rumahnya yang kecil, berdinding gedhek, berlantai tanah, bergenting bocor di sana-sini ketika hujan, yang terletak di sudut timur pedukuhan Tempel, hampir setiap hari diramaikan oleh pertengkaran antara Lastri dan kedua orang tuanya.” (Halaman 309)
                “Dia katakan kepada semua orang agar semua orang tidak lagi berkeinginan untuk bekerja keluar negeri”. (Halaman 306)
                “Lastri yang cantik dan cerdas kini menjadi bahan pergunjingan umum”

Ø  Alur pemikiran
Alur Pendidikan
                Terjadi perbaikan atau peningkatan pandangan tokoh utama. Dalam hal ini Lastri tersadar ketika melihat berita yang isinya serangkaian kejadian TKW yang gagal dan mengalami nasib sial di luar negeri. Lastri semakin berinisiatif untuk meyakinkan warga dan kedua orang tuanya agar berhenti menyuruhnya bekerja di luar negeri dan menyadarkan warga untuk tidak lagi berkeinginan bekerja di luar negeri.
                “Dia tunjukan kepada semua orang agar semua orang tidak lagi berkeinginan untuk bekerja keluar negeri”. (Halaman 306) 


Alur Kekecewaan
                Tokoh utama merasa kalah karena tak ada satu pun manusia di dunia ini yang memahaminya dan mengerti akan dirinya.
                “Aku kalah. Aku kalah... tak ada satu pun manusia di dunia ini yang memahami aku, mengerti aku”.



¢  Pengaluran
Fungsi utama
Bagian awal
F1 : Adanya harapan tentang datangnya huja, di desa Dukuh Tempel.
F2 : Pohon-pohon  yang sendu layu, daun-daun jati yang berguguran, dan keadaan lain yang sangat kekurangan air.
Bagian tengah
F86         : penolakan dalam hati Lastri terhadap lamaran Suroso karena ia tidak mencintainya.
F87         : Lastri mengalami tekanan batin karena orang tuanya mendiamkannya di dalam rumahnya sendiri dan warga terus menggunjingkannya.
Bagian akhir
       F199 : Orang tua Lastri yang menyiksanya karena tidak mau menjadi TKW.
       F200 : Lastri yang pasrah atas hidupnya yang kalah atas keadaannya.


Sekuen
Bagian awal
S1: Warga desa pedukuhan Tempel mengalami kegelisahan dikarenakan kemarau menyerang.
S2: Mata pencaharian dukuh Tempel seperti sawah, ladang, dan sumur mengalmi kekeringan
S3: Warga dukuh Tempel membutuhkan uang untuk bisa bertahan hidup.
Bagian tengah
S100:  Suroso pergi ke kota untuk merubah nasib kearah yang lebih baik. Setelah berkali-kali ditolak ketika melamar pekerjaan, Suroso mendapati ada sebuah lowongan pekerjaan yang menyalurkan tenaga kerja wanita ke luar negeri secara cepat dan mudah. Suroso kembali ke desa. mencoba menghembuskan angin segar berupa sebuah harapan dan perubahan. 
S101 :  Suroso berhasil menjadi calo dalam menyalurkan TKW.
S102:  Suroso menjadi kaya karena berhasilmendapatkan banyak keuntungan dari menjadi calo.
S103 Suroso melamar Lastri akan tetapi Lastri tidak menerima Lamarannya dan orang tua Lastri marah dan kecewa terhadap Lastri.
S104Lastri meminta nasihat kepada Kang Guru mengenai lamaran Suroso kepadanya karena orang tuanya meminta ia menerima lamaran suroso.
S105 Sebelum pernikahan Suroso dan Lastri terjadi, Suroso mengalami kecelakaan dan meninggal dunia.
Bagian akhir
S299 : Lastri berusaha meyakinkan warga agar tidak pergi keluar negeri untuk menjadi TKW, lastri pun bersih keras tidak mau menuruti keinginan orang tuanya agar Lastri menjadi TKW.
S300:  Lastri gagal dan merasa kalah karena tidak ada yang mengerti dan memahaminya. Karena semakin banyak Lastri berkata, warga semakin menganggap Lastri



ANALISIS TOKOH DAN LATAR
                TOKOH
                Rahmanto dan  Hariyanto (1998:2.13) menyatakan bahwa tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita, sedangkan penokohan atau perwatakan ialah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh di dalam karya sastra.
Dalam Novel ini ada beberapa tokoh:
1. Lastri                                 4. Orang tua Lastri
2. Suroso                             5. Kang Guru
3. Mirah

1. Lastri : cantik, baik, solehah, patuh kepada orang tua, berpendirian teguh.
“  Lastri namanya. Ya, Lastri tetangganya di dukuh nan jauh disana. Cantik dia. Semua orang yang tau tentang cantik tidaknya seorang perempuan, semuanya akan sepakat bahwa Lastri adalah cantik.”
“ Kini, kedua orangtua Lastri tersenyam-senyum sebab Lastri telah sadar untuk menikah dengan pemuda paling kaya di dukuh Tempel. “
“Lastri benar-benar lebih ingin menanggung sakit sekujur badannya daripada mau bekerja keluar negeri.”


2. Suroso : pekerja keras, tidak mudah menyerah, mata keranjang, bujang lapuk.
“ berniat bekerja apa saja di kota, kuli bagunan atau pemulung pun akan dilakukan “
“ berhari-hari melangkahkan kaki mencari pekerjaan kesana kemari. Jalan-jalan besar, tol, jembatan layang, hingga jalan sempit di lorong-lorong gang pengap dan bau dan banyak tikus yang besar-besar sudah ia injak.  Masih saja pekerjaan belum barbaik hati kepadanya. Tetapi Suroso tidak berputus asa ia tabah. Ia sudah bertekad untuk melawan kejamnya kehidupan kota.
“ hati Suroso menari-nari. Sedikit-sedikit, dia mencuri pandang wajah cantik Mirah dan tubuh bahenolnya. Ada goresan berahi di kornea mata Suroso – berahi yang akan ia tumpahkan pada gadis itu, entah di dalam bus atau di kota nanti. “
“ adalah Suroso, pemuda tak laku-laku nikah ini yang telah coba mneghembuskan angin segar perubahan- angin harapan. “

3. Mirah : cantik, menarik, mudah tergoda laki-laki.
“ keelokan tubuhnya membuat berdecak kagum bagi setiap laki-laki yang memandangnya. Kepadatan tubuh Mirah mampu secepat kilat menarik berahi keluar dari ubun-ubun laki-laki. “
“ Suroso bingung harus memulai darimana, da ternyata yang memulainya adalah Mirah. Mirah pun menyandarkan kepalanya di bahu Suroso. “

4. Orang tua Lastri : egois, kejam, matrealistis.
“ semakin sering saja Lastri berdebat, bertengkar, berteriak-teriak melawan ibunya. Ibunya bersekutu dengan bapaknya. Bapak dan ibunya memaksa-maksanya untuk mau menikah dengan Suroso. “
“ Dan setiap kali Lastri berkata “tidak”, setiap itu pula gebukan dan tamparan mendarat di wajah dan tubuhnya. “
“ di saat kedua orang tua Lastri bermimpi tentang kekayaan calon menantunya.”

5. Kang Guru : soleh, bijaksana.
“ Kang Guru adalah orang satu-satunya di dukuh ini yang mampu menerangkan betapa iman dan keyakinan itu indah dan menggairahkan. Betapa Tuhan itu Maha Sempurna dan Dzat yang mengagumkan. Betapa dunia ini benar-benar permainan. “

LATAR
Tiga kategori latar (Rahmanto dan Hariyanto 1998:2.15).
¢  Latar tempat adalah hal-hal yang berkaitan dengan masalah geografis.
¢  Latar waktu berkaitan dengan masalah-masalah historis.
¢  Latar sosial berhubungan dengan kehidupan kemasyarakatan.
 
1.       Latar Tempat
Dukuh Tempel, kantor penyalur tenaga kerja, sumur, sawah, rumah Lastri, rumah Tinah, pegunungan Kendeng.\
¢  Dukuh tempel “adalah hal yang biasa bagi warga dukuh tempel untuk mencuci bersama-sama di sumur orang lain”
¢  Kantor penyaluran tenaga kerja  “tunggu sebentar ya bang , orang tersebut melangkah ke ruang tertentu. Tampaknya dia akan member tahu boss pemilik PJTKI Agesa Prima ini.”
¢  Rumah Tinah “ada apa mbak Siti?tumben malam-malam begini sudi mengunjungi gubuk kami” tanya Ngadio,suami Tinah”
¢  Sumur  “suatu pagi, Lastri sedang mencuci bersama Rohmah dan Mirah di sumur milik mbah Rusyidi”
¢  Rumah Lastri “malam-malam di rumah orang tua Lastri semakin menguak kehampaan yang perih dan menyayat-nyayat”
¢  Pegunungan kendeng ”Lastri menangis tersedu-sedu di bawah pohon trembhesi pegunungan Kendeng”
¢  Sawah  “Lastri, gadis tercantik di dukuh Tempel, gadis yang mempunyai kekerasan hati untuk tidak mau bekerja ke luar negeri, kini menggigil kedinginan di pematang sawah milik bapaknya itu”
2.       Latar waktu
Waktu : pagi, siang, senja dan malam hari.
¢  Pagi hari : suatu pagi, Lastri sedang mencuci bersama Rohmah dan Mirah di sumur milik mbah Rusyidi.
¢  Siang hari : tetapi sampai siang hari, Lastri belum pulang juga.
¢  Senja : sumpah mati, senja ini begitu asing ia lalui bersama Lastri.
¢  Malam hari : maka malam itu, di saat kedua orang tua Lastri selesai membujuk  Lastri dengan jawaban nihil, sang bapak dan sang emak benar-benarberada pada puncak keputusan.

3.       Latar sosial
                Desa Dukuh Tempel menjadi latar utama dalam novel ini, sebuah desa kecil yang sering sekali mengalami kekeringan. Dalam novel ini tidak begitu menyinggung adat istiadat, kebudayaan atau ciri khas. Dalam novel ini penggambaran keadaan masyarakat yaitu pada saat kekeringan terjadi sebagian warga akan mencari pekerjaan ke kota, pandangan hidup yang diceritakan pada novel ini masih sangat sempit, banyak orang tua yang menyuruh anaknya untuk bekerja sebagai TKW bukan memikirkan pendidikan. Dalam segi pembahasaan pun tidak digunakan bahasa daerah sama sekali. Dalam penceritaannya novel ini selalu mengait-ngaitkan kedudukan wanita.


GAYA  PENCERITA

1.       Modus
                Tingkat kehadiran peristiwa yang diceritakan dalam teks yang sering pula disebut ujaran atau wicara.  Tingkat kehadiran dalam peristiwa dalam novel Nyalalah Api Cinta, cukup banyak rangkaian peristiwa yang berlangsung bisa dibilang beruntun dari satu peristiwa ke peristiwa lain.
Gerrad Gennete membaginya dalam tiga tingkat, yakni :
¢  Gaya langsung, pada gaya langsung  ujaran sama sekali tak mengalami perubahan dan disebut juga ujaran yang dilaporkan (discours rapporte).
¢  Gaya tak langsung, pada gaya tak langsung (discours transpose) atau ujaran yang disesuaikan/dialihkan, ujaran disampaikan dengan cara menggabungkan kaidah-kaidah bahasa dengan cerita si penutur.
¢  Gaya narasi, adapun gaya yang diceritakan/dinarasikan (discours raconte) mengemukakan isi dari tindakan mengujarkan tanpa mempertahankan unsurnya (Todorov, 1985 : 26-27).

2.       Kala/waktu
                Dalam kategori waktu/kala terdapat dua jalur waktu : waktu dunia yang digambarkan (tataran peristiwa atau cerita) dan waktu wacana yang menggambarkan (tataran penceritaan).
                Urutan waktu dalam novel ini  sesuai dengan alur maju yang digunakan dalam sebuah novel, urutan waktu dalam novel Nyalalah Api Cinta karya Muhammad Muhyidin  ditampilkan secara  beruruntun dari peristiwa satu ke peristiwa yang lainnya dan tidak menampilkannya secara acak.

3.       Sudut Pandang
                Analisis gaya penceritaan dalam kajian prosa fiksi ini berkaitan dengan kehadiran pencerita di dalam teks dan tipe penceritaan. Berdasarkan kategori kehadiran pencerita di dalam teks, terdapat klasifikasi berikut.
1) Pencerita intern, yaitu pencerita yang hadir di dalam teks dan mengambil posisi sebagai tokoh/sudut pandang orang pertama.
2) Pencerita ekstern, yaitu pencerita yang tidak hadir di dalam teks karena posisinya hanya sebagai pengamat/ sudut pandang orang ketiga.
                Tipe penceritaan novel Nyalalah Api Cinta  ini termasuk tipe Wicara pencerita luar termasuk dalam cakupan yang menggunakan wicara yang diceritakan karena pencerita seolah berada dalam jarak yang jauh dan tidak terlibat dengn cerita yang ada di dalamnya, karena dalam novel ini lebih banyak menggunakan bahasa narasi atau wicara yang dinarasikan.   
                Contoh  :  Di kamarnya, Lastri yang belum bisa memejamkan mata, sayup-sayup mendengar perbincangan kedua orang tuanya itu. Dia pun memasang telinga agar telinganya semakin bisa mendengar pembicaraan mereka.


KAJIAN FEMINISME
Sejarah feminis telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan.
                Feminisme (tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria.
                Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837 Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, "Perempuan sebagai Subyek" ( The Subjection of Women) pada tahun (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.

¢  Citra perempuan Lastri pada novel “Nyalalah api cinta” karya
Tinjauan Feminisme:
                Yaitu tokoh dan kedudukan tokoh Lastri digambarkan sebagai gadis cantik yang cerdas sehingga tidak heran dia menjadi kembang desa di Desa Tempel. Lastri beranggapan bahwa bukan hanya lelaki yang berhak mendapat pendidikan, namun sayangnya orangtuanya malah memaksanya menjadi TKW menyusul gadis lain yang dianggap sudah sukses menurut ukuran desa. Jika tidak menjadi TKW, Lastri dipaksa untuk menerima pinangan dari Suroso, bujang lapuk yang menjadi perantara warga dengan agen TKW. Lastri tidak mencintai Suroso. Lastri lantas melawan orangtuanya karena baginya dia lah yang tahu kebahagiaan untuknya. Cintanya tidak bisa ditukar materi. Lastri menjadi sosok gadis dengan pemikiran yang berbeda di desanya sehingga orang-orang desa menganggapnya aneh karena menolak menikah dengan pemuda paling sukses di desa. Dia merasa dia punya pilihan atas hidupnya karena dia yang berhak atas hidupnya. Biarlah dia miskin harta asal hidupnya dikemudikan oleh dirinya sendiri.

¢  Kekerasan terhadap Lastri (perempuan) dalam novel :
                Lastri yang mengalami kekerasan dalam keluarganya, tidak hanya kekerasan fisik, tapi juga kekerasan batin. Saat penolakan yang dilakukan Lastri kepada Suroso, ia dijauhi keluarganya, dijauhi oleh warga karena penolakan itu,  tidak diperhatikan keluarganya. Rasa putus asa yang begitu dalam sangat menyiksa Lastri. Kekerasan fisik yang dialami Lastri saat ia menolak menjadi TKW, dia di siksa dalam hidupnya, tampara-tamparan, pukulan-pukulan, caci makian dirasakan olehnya.                

¢  Emansi  wanita (Lastri) dalam Novel
                Dalam novel ini, perubahan, pikiran tokoh, kehidupan para wanita sangat di kecilkan oleh semua pihak. Dimana tokoh Suroso memiliki pandangan bahwa semua perempuan sama, bisa dibeli materi walau semakin cantik perempuan itu maka semakin mahal lah harga yang harus dibayar untuk mendapatkannya. Ketika Lastri menolaknya, pemuda itu mengira Lastri ternyata lebih mahal dari yang dia kira padahal Lastri menolak karena bagi Lastri pernikahan yang bahagia adalah yang dilandasi cinta sedangkan dia tidak mencintai Suroso dan Lastri berhak menolak.
                Kedua orangtua Lastri merasa mereka berhak menentukan jalan hidup Lastri karena mereka adalah orangtua gadis itu termasuk untuk memutuskan dengan siapa Lastri menikah dan menyuruh gadis itu menjadi TKW. Lastri bukan mau menjadi durhaka namun semata ingin menjalani pilihannya sendiri.
                Kesimpulannya, Lastri mendobrak semua pandangan tokoh lain terhadap wanita. Wanita yang bisa diukur uang, wanita yang tidak memerlukan pendidikan tinggi, serta wanita yang pilihan hidupnya dikekang dan dicampur tangan pihak lain. Tokoh Lastri dipandang bodoh karena menolak Suroso demi mempertahankan cinta, yang menurutnya hal terakhir yang dia miliki yang harus dia jaga.

                               

 















 








Rabu, 01 Desember 2010

PENGUNGSI^^



ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas Kajian Puisi Indonesia

dari Drs. H. Ma’mur Saadie, M.Pd.

Kelompok 6

Rebecca A. Sianturi (0906813)

Hestu Nodya K. (0902550)

Nurul Haq A. (0903929)

Riama Sihombing (0900806)

Wina Sugiarti (0902362)


* Pengertian Sosiolagi Sastra
* Klasifikasi sosiologi sastra
* Acuan dalam sosiologi sastra
* Masyarakat dan Sastra
* Kajian puisi
* kesimpulan



Pengertian Sosiologi Sastra

Sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. (Damono, 1978). Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams, 1981:178). Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca (Ratna, 2002). Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca (Ratna, 2002).



Klasifikasi Sosiologi Sastra


Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial Wellek dan Warren (1956: 84, 1990: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut.
1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra (Wellek dan Warren,1990:112)
2. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya.

3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya.


Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam Damono, 1989: 3-4) yang meliputi hal-hal berikut:

1. Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya.

2. Sastra sebagai cermin masyarakat

3. Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial.



ACUAN DALAM SOSIOLOGI SASTRA

Abrams menulis bahwa dari sosiologi sastra ada tiga perhatian yang dapat dilakukan oleh kritikus atau peneliti yaitu:
1. Penulis dengan lingkungan budaya tempat ia tinggal.

2. Karya, dengan kondisi sosial yang direfleksikan di dalamnya.

3. Audien atau pembaca (1981: 178).


MASYARAKAT DENGAN SASTRA

— Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut.

— 1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.

— 2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap espek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.

— 3. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.
4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika.

— 5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menentukan citra dirinya dalam suatu karya (Ratna, 2006: 322-333).

KAJIAN PUISI

PENGUNGSI

Jalan, jalan. .! Berapa puluh hari sudah

kau jalan Nak Sri? Hujan panas silih berganti!

Jalan yang panjang buruk berbatu ini masih panjang

dari desa ke desa, di sawah dan bukit tinggi.

“Bu. . . Bu! Kaki Sri sakit, bengkak. Ah, sakit!”

Air mata memercik mata yang bening bersih,

Ibu senyum getir, bapa kuat mendukung...

“Diam Sri, diam! Kita pergi menuju Bung Karno. .

Kota telah hancur, tapak kaki ganas kejam

sudah menghentak-hentak di sana. orang-orang lemah

dan lembu-lembu sewaan jadi raja alat penindas;

kemerdekaan dan keadilan remuk diinjak-injak!

Orang-orang yang tak tahan diludah-ludah hina

menyingkir membawa pakaian lekat di badan

tinggal rumah, halaman dan segala yang dicintai.

Kaki hancur bengkak, ditongkat terbata-bata,

perih sengsara ikut melekat sepanjang jalan:

“Diam Sri,diam! Kita pergi menuju Bung Karno....!”

Sepanjang siang malam terlunta-lunta

Di terik bakaran panas, kuyup direndam hujan,

iringan kafilah ini mengalir terus,sebagai

jemaah menuju Tanah Suci, melepas jeritan

jiwa yang diperkosa, dan isak-isak sedu sedan,

mendongak rindu hawa yang merdeka dan adil!


— Dengan pendekatan sosiologis

a. Aspek sosial

Aspek sosial yang dimaksudkan adalah aspek sosial yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia. Baik secara langsung maupun tidak langsung (Keluarga, masyarakat). Salah satu aspek yang sangat mempengaruhi gerak solidaritas manusia yakni menyangkut stafikasi sosial yaitu beberapa bentuk pelampiasan dalam masyarakat atau kelas sosial.

Pengungsi

Jalan, jalan ……! Berapa puluh hari sudah

Kau jalan nak sri? Hujan panas silih berganti!

Jalan yang panjang buruk berbatu ini masih panjang

Dari desa ke desa, di sawah dan di bukit tinggi

— Karena diceritakan:

Masyarakat yang tertindas diceritakan menderita sehingga

harus menempuh perjalanan jauh untuk mencari tempat

tinggal hanya dengan jalan kaki

b. Aspek ekonomi

Aspek ekonomi yang dimaksud adalah segala hal yang berhubungan dengan usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan. Aspek yang terdapat dalam puisi ini dapat dilihat pada bait ketiga larik keempat sebagai berikut:

Orang-orang yang tak tahan diludah-ludah hina

menyingkir membawa pakaian lekat di badan

tinggal rumah, halaman dan segala yang dicintai.

— Karena diceritakan:

Mereka saat itu menjadi sangat miskin tak memiliki harta,

direndahkan oleh orang kaya


c. Aspek politik

Aspek politik yang terdapat di dalam puisi “Pengungsi” dapat dilihat pada bait ketiga sebagai berikut :

Kota telah hancur, tapak kaki ganas kejam

sudah menghentak-hentak di sana. Orang-orang lemah

dan lembu-lembu sewaan jadi raja alat penindas;

kemerdekaan dan keadilan remuk diinjak-injak!

— Karena diceritakan:

Kota tempat tinggal mereka telah hancur. Semua itu adalah

titah dari orang yang berkuasa (berkedudukan lebih tinggi

dalam kelas masyarakat)


d. Aspek Moral

Aspek moral yang dimaksud adalah segala aspek yang menyangkut baik buruknya perbuatan. Dalam hal ini mengenai sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti dan susila. Aspek moral yang terdapat dalam puisi “pengungsi” dapat dilihat pada bait ketiga yaitu :

Kota telah hancur, tapak kaki ganas kejam

sudah menghentak-hentak di sana. Orang-orang lemah

dan lembu-lembu sewaan jadi raja alat penindas;

kemerdekaan dan keadilan remuk diinjak-injak!

— Karena diceritakan:

Akhlak buruk yaitu keserakahan dan orang yang berkuasa tidak

peduli kepada masyarakat kecil hingga kehidupan mereka semakin

menderita

KESIMPULAN

— Sosiologi adalah sebuah bidang ilmu yang menjadikan masyarakat sebagai objek materi dan kenyataan sosial sebagai objek moral. Dalam perspektif sosiologi, kenyataan sosial dalam suatu komunitas masyarakat dipahami dalam tiga paradigma utama, yaitu fakta sosial, defenisi sosial, dan paradigma perilaku.

— Sosiologi sastra dapat meneliti melalui tiga perspektif pertama perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, perspektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi pengarang ketiga, perspektif yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.